Judul : Aspek Hukum Illegal Fishing
link : Aspek Hukum Illegal Fishing
Aspek Hukum Illegal Fishing
Aspek Hukum Illegal Fishing - Usaha masyarakat Internasional untuk mengatur masalah kelautan melalui Konperensi PBB tentang Hukum Laut yang ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut , yang telah ditanda-tangani oleh 117 (seratus tujuh belas) Negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 .
Dibandingkan dengan Konvensi – Konvensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, bahwa Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 ( UNCLOS 1982) tersebut mengatur rejim-rejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh, yang rejimnya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, adalah merupakan :
1. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan-ketentuan Hukum Laut yang sudah ada ;
2. Sebagian merupakan pengembangan Hukum Laut yang sudah ada ;
3. Sebagian melahirkan rejim-rejim baru .
Konvensi PBB Hukum Laut 1982 ini mempunyai arti penting , karena untuk pertama kalinya azas “Negara Kepulauan” yang selama 25 tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah memperoleh pengakuan dari masyarakat Internasional. Pengakuan resmi azas “Negara Kepulauan “ ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 dan konsep “Wawasan Nusantara”, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan.
Yang dimaksud dengan “Negara kepulauan” menurut Konvensi ini adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain . Konvensi ini menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu gugusan pulau-pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan pulau-pulau tersebut dan lain-lain wujud alamiah yang hubungan satu sama lainnya demikian eratnya, sehingga gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan satu kesatuan geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah dianggap sebagai satu kesatuan demikian. Dengan diakuinya azas “Negara Kepulauan”, maka perairan yang dahulu merupakan bagian dari “laut lepas” kini menjadi “Perairan Kepulauan” yang berarti menjadi Wilayah Perairan Republik Indonesia”. Dalam “Perairan Kepulauan” berlaku “Hak Lintas Damai” ( Right of Innocent Passage) bagi kapal-kapal negara lain, namun demikian Negara Kepulauan dapat menangguhkan untuk sementara waktu “hak lintas damai” tersebut pada bagian-bagian tertentu dari “perairan kepulauannya” apabila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan keamanannya.
Negara Kepulauan dapat menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan diatas alur laut tersebut . kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif ke bagian lain dari laut lepas ataupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), sekalipun kapal asing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut, namun tentang hal tersebut tidak boleh mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya .
II. URGENSI PENEGAKAN HUKUM DI WILAYAH PERAIRAN REPUBLIK INDONESIA
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan Negara Kepulauan, yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari wilayah perairan ( laut ) yang sangat luas, potensi perikanan yang sangat besar dan beragam . Potensi perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional .
Diantara sekian banyak masalah ekonomi ilegal, praktik pencurian ikan atau IUU (Illegal, Unregulated and Unreported fishing practices) oleh nelayan-nelayan menggunakan armada kapal ikan asing adalah yang paling banyak merugikan negara.
Pencurian ikan oleh armada kapal ikan asing dari wilayah laut Indonesia diperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun (Rp 30 triliun/tahun) yang berlangsung sejak pertengahan 1980-an (FAO, 2008). Selain kerugian uang negara sebesar itu, pencurian ikan oleh nelayan asing berarti juga mematikan peluang nelayan Indonesia untuk mendapatkan 1 juta ton ikan setiap tahunnya. Lebih dari itu, volume ikan sebanyak itu juga mengurangi pasok ikan segar (raw materials) bagi industri pengolahan hasil perikanan nasional serta berbagai industri dan jasa yang terkait. Sehingga, impor ikan baik volume maupun nilainya terus meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir.
Aktivitas pencurian ikan oleh para nelayan asing juga merusak kelestarian stok ikan laut Indonesia, karena biasanya mereka menangkap ikan dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Hal yang sangat penting diceramti adalah apabila terus membiarkan terjadinya illegal fishing, maka kedaulatan wilayah pun bisa terongrong, oleh karenanya, harus ada upaya strategis dan signifikan dalam rangka menanggulangi aktivitas pencurian ikan secara illegal di wilayah perairan laut Republik Indonesia .
Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated)fishing practices pada saat diselenggarakannya forumCCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. Pada saat itu dibahas mengenai kerugian akibat praktek penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara bukan anggotaCCAMLR. Dari forum ini kemudian masalah illegal fishingini dijadikan isu utama di tingkat global oleh FAO dengan alasan kuat, bahwa saat ini cadangan ikan dunia menujukkan trend menurun dan salah satu faktornya penyebabnya adalah praktek illegal fishing. Pada 1996 saja, dari 14 daerah penangkapan ikan utama dunia (the world’s major fishing grounds), sembilan di antaranya telah over fishing, sedangkan lima fishing ground masih dapat dikembangkan (FAO, 1996). Perairan laut Indonesia termasuk yang masih bisa dikembangkan. Di sisi lain dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia, maka permintaan terhadap produk perikanan terus meningkat, fakta global inilah yang membuat wilayah laut Indonesia menjadi incaran para nelayan asing.
IUU fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: (1)Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut; (2) Unregulated fishingyaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan (3) Unreported fishing yaitu kegiatan penagkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Praktek terbesar dalam IUU fishing menurut Bray (2000) pada dasarnya adalah poachingatau penangkapan ikan oleh negara lain tanpa ijin dari negara yang bersangkutan, atau dengan kata lain, pencurian ikan oleh pihak asing alias illegal fishing.
Pada prakteknya keterlibatan pihak asing dalam pencurian ikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
Pertama, pencurian semi-legal, yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat ijin penangkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau bendera negara lain. Praktek ini tetap dikatagorikan sebagai illegal fishing, karena selain menangkap ikan di wilayah perairan yang bukan haknya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah. Praktek ini sering disebut sebagai praktek “pinjam bendera” (Flag of Convenience; FOC).
Kedua, adalah pencurian murni illegal, yaitu proses penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan asing dan kapal asing tersebut menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah kita. Kegiatan ini jumlahnya cukup besar, berdasarkan perkiraan FAO (2008) ada sekitar 1 juta ton per tahun dengan jumlah kapal sekitar 3000 kapal. Kapal-kapal tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Mlaysia, RRC, Pilipina, Taiwan, Korsel, dan lainnya.
Praktek illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh pihak asing, tetapi juga oleh para nelayan/pengusaha lokal. Praktekillegal fishing yang dilakukan oleh para nelayan/pengusaha lokal dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :
(1) Kapal ikan berbendera Indonesia bekas kapal ikan asing yang dokumennya palsu atau bahkan tidak memiliki dokumen ijin;
(2) Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen aspal atau “asli tapi palsu” (pejabat yang mengeluarkan bukan yang berwenang, atau dokumen palsu);
(3) kapal ikan Indonesia yang tanpa dilengkapi dokumen sama sekali, artinya menangkap ikan tanpa ijin.
Kekhawatiran terhadap menurunnya cadangan ikan dunia mengakibatkan peningkatan kesadaran bahwa pengelolaan perikanan dalam skala lokal maupun global sangatkah diperlukan. Hal ini menyebabkan permasalahan yang dihadapi semakin meluas, tidak hanya mencakup problem klasik pencurian ikan, tetapi meluas juga kepada masalah perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) dan perikanan yang tidak diatur (unregulated fishing). Praktekunreported dan unregulated fishing dapat menyebabkan terjadinya perbedaan yang besar antara estimasi stok ikan dengan potensi sebenarnya, mengingat pendekatan perhitungan stock ikan tersebut berdasarkan hasil tangkapan ikan per satuan upaya tangkap (CPUE = Catch Per Unit of Effort). Akibatnya, negara yang bersangkutan tidak dapat mengidentifikasi cadangan ikan yang dimiliki dan mengatur pemanfaatannya dengan baik. Hal ini dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan.
Wilayah perairan ( laut ) yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang sangat besar, tetapi juga membawa konsekuensi dan permasalahan tersendiri, antara lain masih terbatasnya peralatan yang berkorelasi dengan pelaksanaan operasi penjagaan, menjadi peluang bagi nelayan-nelayan Negara lain untuk melakukan perbuatan seperti yang dikenal dengan “penangkapan ikan secara illegal” atau “Illegal Fishing” yang dapat menimbulkan kerugian bagi Negara Republik Indonesia . Pada kondisi inilah peran penegakan hukum sangat dibutuhkan sebagai media pencegahan dan penangkalan terhadap tindakan pelanggaran di laut yang dapat mengganggu kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya, semua semua potensi yang ada. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan azas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan, oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu urgensi kebutuhan yang mutlak diperlukan, yang meliputi kegiatan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan .
III. ASPEK HUKUM PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN (ILLEGAL FISHING) DI INDONESIA
Bahwa dalam penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Perikanan, bahwa ketentuan Hukum Acara Pidananya sebagian telah diatur secara limitatif dan khusus dalam UU Tindak PidanaPerikanan tersebut dan beberapa hal yang belum diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Perikanan, tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ;
Tindak Pidana Perikanan diantaranya adalah berupa “penangkapan ikan secara illegal” atau yang sering disebut sebagai ILLEGAL FISHING, yaitu antara lain :
Ø Pengertian ILLEGAL FISHING, ada 6 (enam) katagori, sebagai contoh, yaitu:
1. Penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tanpa ijin ;
2. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan ijin palsu ;
3. Kegiatan penangkapan ikan tidak dilaporkan di pelabuhan pangkalan;
4. Membawa hasil tangkapan langsung ke luar negeri ;
5. Menggunakan alat penangkapan ikan terlarang ;
6. Menggunakan alat penangkapan ikan dengan jenis / ukuran alat tangkap yang tidak sesuai dengan ijin .
Ø MODUS ILLEGAL FISHING, antara lain :
1. Double Flagging ( penggunaan bendera kapal ganda ) ;
2. Manipulasi data dalam mendaftarkan kapal eks. Asing menjadi KII ( manipulasi Delition Certificate dan Bill of Sale ) ;
3. Transhipment di tengah laut ( kapal penangkap ikan melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengumpul yang sudah menunggu di batas luar ZEEI ) ;
4. Mematikan atau memindahkan Vesel Monitoring System ( VMS ) ke kapal lain ;
5. Satu ijin untuk beberapa kapal yang sengaja dibuat serupa ( bentuk dan warna) ;
6. Memasuki wilayah Indonesia dengan alasan tersesat atau menghindar dari badai ;
7. Melakukan lintas damai namun tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka ( alat penangkapan ikan kedapatan dalam kondisi basah ) ;
8. Alasan Traditional Fishing Right (kapal-kapal Pump Boat);
9. Menangkap ikan tidak pada Fishing Ground yang telah ditetapkan ;
10. Untuk alat tangkap pukat ikan ukuran mata jaring < dari 50 mm, head rope dan ground rope melebihi yang tertera pada ijin ;
11. Jaring insang ( Gill Nett melebihi panjang maksimal /10.000 meter ) ;
12. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau ( Trawl) atau pukat yang ditarik dua kapal ( Pair Trawl ) ;
Ø Faktor penyebab terjadinya ILLEGAL FISHING, yaitu antara lain :
1. Industri pengolahan ikan darui negara tetangga harus bertahan ;
2. Perairan untuk area penangkapan ikan ( Fishing Ground ) di negara lain, sumber dayanya makin habis, disamping itu untuk rasionalisasi armada penangkap ikan ;
3. Terjadinya Disparitas harga ikan ;
4. Adanya fenomena bahwa laut di wilayah Indonesia sangat terbuka dan banyak terkandung ikan ;
5. Lemahnya pengawasan wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia ;
Ø Tempat Kejadian atau locus delicti ILLEGAL FISHING, yaitu antara lain :
1. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ( ZEEI ) ;
2. Laut teritorial ;
3. Laut Natuna, nelayan asing yang melakukan Illegal Fishing antara lain dari Taiwan, Vietnam, Thailand, Malaysia ;
4. Sulawesi Utara bagian utara, nelayan yang melakukan Illegal Fishing antara lain dari Philipina ;
5. Laut Arafura, nelayan asing yang melakukan Illegal Fishing antara lain Thailand, RRC, Taiwan .
Ø Bahwa dalam menangani perkara Tindak Pidana Perikanan, disyaratkan jaksa Penuntut Umum yang ditunjuk secara khusus . Adapun Jaksa Penuntut Umum yang ditunjukuntuk menangani perkara TP. Perikanan, sebagaimana diatur dalam pasal 75 UU Nomor 31/2004 sebagaimana diubah UU Nomor 45 / 2009, yaitu :
1. Ditetapkan oleh Jaksa Agung RI ;
2. Berpengalaman menjadi penuntut umum minimal 2 (dua) tahun ;
3. Telah mengikuti Diklat Teknis di bidang perikanan ;
4. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya .
Ø Substansi yang diatur dalam UU Nomor 45 Tahun 2009tentang TP. Perikanan, antara lain :
1. Terkait pengawasan dan penegakan hukum, yaitu :
- Mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penyidikan TP. Perikanan ( Bakorkamla ) ;
- Penerapan sanksi ( pidana badan atau denda ) ;
- Hukum Acara Pidana ( limitatif batas waktu penyelesaian perkara ) ;
- Adanya kemungkinan upaya penenggelaman kapal berbendera asing .
2. Terkait pengelolaan perikanan, antara lain :
- Ke-Pelabuhan perikanan ;
- Konservasi ;
- Perijinan ;
- Ke-syahbandaran .
3. Terkait perluasan Yurisdiksi Pengadilan Perikanan .
Ø Mekanisme Penanganan Perkara TP. Perikanan :
- Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum ( SPDP ) paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan ;
- Penerimaan berkas perkara ( tahap satu ), yaitu bahwa :
1. Penyidikan kasus TP. di bidang Perikanan di wilayah pengelolaan perikanan RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL dan atau Penyidik Polri ;
2. Untuk Locus Delicti di wilayah ZEEI, JPU hanya menerima berkas perkara yang disidik oleh PPNS perikanan ( PSDKP ) dan penyidik perwira TNI AL dan berkas perkara TP. Perikanan dengan locus delicti di ZEEI yang disidik oleh penyidik Polri, JPU agar memberikan petunjuk untuk dilakukan penyidikan ulang oleh penyidik yang berwenang sesuai pasal 73 ayat 2 UU Nomor 45 tahun 2009, yaitu penyidik PPNS Perikanan (PSDKP) atau penyidik perwira TNI AL ;
3. Penelitian berkas perkara ( Pra Penuntutan ) oleh JPU harus melakukan penelitian syarat formil yaitu mencakup identitas tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan BB, daftar BB, dan penelitian syarat materiil yaitu antara lain unsur pasal yang disangkakan terkait wilayah ( ZEEI atau diluar ZEEI ) dimana khusus untuk wilayah ZEEI wajib dijuncto-kan dengan pasal 102 UU nomor 45 / 2009, tempos dan locus delicti ( terkait kompetensi absolut dan relatif ), peran masing-masing tersangka, keterangan saksi dan ahli .
4. Tenggang waktu penelitian berkas perkara maksimal 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara hasil penyidikan ;
5. Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 hari, JPU tidak mengembalikan berkas perkara kepada penyidik ;
6. Dalam waktu paling lama 10 hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas perkara, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada JPU ;
7. JPU melimpahkan berkas perkara kepada Ketua PN paling lama 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal berkas perkara dinyatakan lengkap oleh JPU (P-21) ;
Ø Waktu penahanan dalam perkara di bidang perikanan :
1. Penyidikan ( pasal 73 ayat 4 UU Nomor 45 /2009)
· Penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka maksimal 20 (duapuluh) hari ;
· Perpanjangan JPU maksimal 10 (sepuluh) hari ;
Setelah waktu 30 (tigapuluh) hari, penyidik harus mengeluarkan tersangka dari tahanan .
2. Penuntutan ( pasal 76 ayat 6 UU Nomor 45 / 2009)
· JPU dapat melakukan penahanan terhadap tersangka maksimal 10 (sepuluh) hari ;
· Perpanjangan oleh Ketua PN maksimal 10 (sepuluh) hari .
Ø Pengendalian Penuntutan :
1. Pengendalian Penuntutan perkara TP. Perikanan dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri, yaitu dalam hal :
· Terdakwa adalah anak di bawah umur;
· Kapal berbendera Indonesia, milik WNI, bobot dibawah 5 GT dengan SIB yang dikeluarkan syahbandar ;
· Nelayan tradisional, perahu muat 2 orang, menangkap ikan dengan menggunakan potasium / racin ;
· Nelayan tradisional, perahu muat 2 orang, mengambil soft coral (karang lunak) ;
· Tindak Pidana terjadi di laut pedalaman .
2. Pengendalian Penuntutan perkara TP. Perikanan dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi, yaitu dalam hal :
· Diluar ketentuan sebagaimana menjadi kewenangan pengendalian Kepala Kejaksaan Negeri ;
3. Pengendalian Jaksa Agung Cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yaitu dalam hal :
· Kapal milik WNA, berbendera asing, Nakhoda WNA atau ABK WNA, kapal milik WNI atau berbendera Indonesia yang mengalihkan muatan ke kapal asing di tengah laut ;
· Perkara menarik perhatian masyarakat, berskala nasional, internasional dan menjadi perhatian pimpinan .
Ø Petunjuk Teknis penanganan perkara TP. Perikanan, antara lain adalah :
1. Surat Jaksa Agung RI Nomor : B-093/A/Ft.2/12/2008 tanggal 24 Desember 2008 perihal Pengendalian dan Percepatan Tuntutan perkara TP. Perikanan .
2. Surat Jampidsus Nomor : B-27/F/Ft.2/01/2010 tanggal 8 Januari 2010 perihal Pendelegasian Kewenangan Pengendalian Penuntutan Perkara TP. Perikanan ;
3. Surat Jampidsus Nomor : B-434/F/Ft.2/03/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal Pendelegasian Kewenangan Pengendalian Penuntutan Perkara TP. Perikanan ;
4. Surat Jampidsus Nomor : B-735/F/Ft.2/04/2010 tanggal 5 April 2010 perihal Pemahaman dan Penerapan UU Nomor 45 / 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/2004 tentang TP. Perikanan ;
Ø Penanganan tahap penuntutan :
· JPU tidak diperkenankan membuat Dakwaan Tunggal, agar diformulasikan dengan Dakwaan Subsidiaritas atau Alternatif ;
· Pembuktian dilakukan secara optimal terhadap Dakwaan dengan ancaman hukum terberat ;
· Terhadap kasus perkara yang terjadi (Locus Delicti) di wilayah ZEEI, penerapan pidananya adalah denda (bukan pidana badan) sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 102, oleh karenanya wajib di-juncto-kan dengan pasal 102 UU Nomor 45/2009 ;
· Laporan penanganan perkara TP. Perikanan dibuat secara berjenjang kepada Jaksa Agung RI cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ;
· Petunjuk Teknis penanganan perkara TP. Perikanan, dalam hal pelaksanaan sidang tanpa hadirnya terdakwa, yaitu berpedoman pada Surat Jampidsus Nomor : B-621/F/Fek.2/11/1992 perihal Sidang IN ABSENTIA .
Ø Penanganan mengenai barang bukti TP. Perikanan :
· Benda atau alat yang digunakan atau dihasilkan dari TP. Perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah medapat persetujuan Ketua PN ;
· Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan tinggi, dapat dilelang dengan persetujuan Ketua PN ;
· Barang bukti hasil TP. Perikanan yang mudah rusak berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di Pengadilan .
· Benda atau alat yang dirampas untuk negara dari hasil TP. Perikanan, dapat dilelang untuk negara ;
· Pelaksanaan lelang dilakukan oleh Kantor Pengelolaan Kekayaan Negara dan Lelang ( KPKNL ) setelah sebelumnya diserahkan terlebih dahulu ke bagian Pembinaan ;
· Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan TP. Perikanan disetor ke kas negara sebagai PNBP ;
· Sebagaimana ketentuan pasal 76 huruf c ayat 5 UU Nomor 45 / 2009, bahwa benda atau alat yang dirampas dari hasil TP.Perikanan berupa kapal perikanan, dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan atau korporasi perikanan, namun mengingat belum adanya PP tentang pelaksnaan UU Nomor 45 / 2009, maka ketentuan tersebut secara praktek belum dapat dilaksanakan secara efektif .
· Terkait pedoman penanganan mengenai barang bukti yaitu Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor : KEP-112/JA/10/1989 tentang Mekanisme Penerimaan, Penyimpanan dan Penataan Barang Bukti .
Ø Penanganan terhadap tersangka saat tahap penyidikan atau terdakwa saat tahap penuntutan ataupun pada saat pemeriksaan di persidangan tetapi sebelum ada putusan hakim telah meninggal dunia :
· Sesuai dengan ketentuan Azas Hukum Pidana, sebagaimana diatur dalam Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum, yaitu sebagaimana ketentuan pasal 77 KUHP, yaitu mengenai “Hapusnya Penuntutan karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia” .
0 komentar:
Posting Komentar